kawaii desu, ne? :3

Monday, September 3, 2018

sebuah kisah


Aku sedang duduk di depan meja belajar di kamar. Sebuah laptop sedang menyala dan terbuka di atas meja tersebut. Layarnya menunjukan sebuah halaman website di internet, sebuah media sosial paling populer yang penggunanya sudah melebihi satu miliar akun. Jari-jari menari di atas papan ketik laptop saat aku membalas pesan yang dikirim oleh sahabat dekatku. Seperti biasanya, kami mengobrol tentang hal-hal tidak penting, menertawakan sesuatu yang sebenarnya tidak lucu, atau membicarakan tentang animasi dan kartun favorit kami. Hal-hal normal bagi kami untuk dijadikan topik pembicaraan yang asyik. 

Sampai suatu saat kami sedang mengobrol, Facebook memberitahu bahwa aku mendapat sebuah pesan dari seorang laki-laki. Laki-laki berusia empat tahun lebih tua dariku yang berkenalan denganku melalui sebuah virtual game di internet. Laki-laki baik dan ramah yang sempat aku sukai. Lelaki yang sama yang pernah secara diam-diam menyatakan perasaan suka terhadapku (sahabatku memberitahukannya kepadaku). Lelaki manis yang berwajah cukup tampan yang dulu pernah menyinari dan membuat hari-hariku tampak lebih berwarna. Lelaki yang sama yang bulan Desember dua tahun lalu tiba-tiba memutuskan untuk menghilang dari hidupku. Tidak, dia tidak mati seperti yang kau bayangkan, bodoh. Dia hanya pergi dari hari-hariku yang sempat cerah karenanya.

“Hai. Apa kabar?” adalah pesan yang ditulis olehnya. Sebuah kalimat sederhana yang sebenarnya tidak mengandung makna yang begitu berarti, namun entah mengapa tenggorokanku terasa tercekat saat aku membaca pesan itu.
Menurutnya bagaimana kabarku setelah ditinggal begitu saja tanpa kabar dan alasan yang jelas?

Aku menelan ludahku dan berusaha untuk tenang saat aku berpikir balasan untuk sapaannya dengan sesantai yang aku bisa lakukan saat itu. Baru menaruh jari untuk mengetik di atas papan ketik untuk membalas pesannya sudah membuat tangan dan kakiku mendingin dan aku separuh berharap aku tidak berbicara dengannya lagi—walaupun di satu sisi aku kangen dan ingin mengobrol banyak seperti dulu kami bercerita layaknya pasangan cinta.

Bisa kutebak, kalian belum mengerti maksudku. Baiklah, akan aku ceritakan sedikit awal pertemuanku sampai kami ‘berpacaran’ melalui dunia maya.

Melalui sebuah virtual game yang memungkinkan seluruh pengguna permainan tersebut dari belahan dunia manapun untuk berkenalan, mengobrol, berteman, dan bermain bersama dalam dunia palsu tersebutlah kami pertama kali bertemu. Sebuah pertemuan bodoh dan tak terduga yang akhirnya mendekatkan kami berdua, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Aku tidak akan repot-repot menjelaskan secara rinci bagaimana aku dan Rio—itulah nama laki-laki itu dan aku rasa aku tidak perlu menyembunyikannya, lagipula dia tidak akan membaca cerita tak berguna ini dan dia berada beberapa kota jauhnya dari tempat aku berada sekarang—bisa-bisanya bertemu dari permainan yang sangat luas tadi, karena aku yakin kalian tidak akan mengerti. Tapi entahlah, aku juga sering tersenyum sendiri ketika mengingat kembali bagaimana pertemuan kami terjadi. Bodoh, sekaligus manis. Kenangan yang indah walaupun sedikit menyakitkan. Dua tahun lalu, tepatnya bulan Juni, kami mulai berteman lebih dekat. Kami lebih sering menghabiskan waktu bersama dalam dunia virtual tersebut, walaupun beberapa sahabatku suka ngerecokin. Tapi itu bukan masalah untukku. Asal ada sabahat-sahabatku—dan dia, tentu saja—,duniaku terasa lebih nyata. Sejak bermain dan mengobrol dengannya, aku merasa aku menjadi lebih semangat menyambut esok hari. Dan rasanya hari-hariku menjadi lebih sempurna saat karakter yang ia mainkan di virtual game tersebut menyatakan cintanya kepada karakterku dan mengajaknya untuk berpacaran, walaupun hanya di dunia palsu itu. Aku, yang sudah menaruh hati padanya sejak pertemuan pertama kami, dengan senang hati menerima tawarannya. Dan pada bulan yang sama di hari yang ke-20, aku resmi berpacaran dengannya—tunggu, maksudku karakter kami resmi berpacaran.

Aku yakin kalian berpikir: “ah, bodoh sekali. Dunia maya, ya, dunia maya. Masa’ kalau pacaran di dunia maya bisa kebawa sampai dunia nyata?” atau malah seperti: “berlebihan ah! kamu aja nggak pernah ketemu tatap muka langsung sama cowoknya, masa masih di galau
in aja”.
Dan mungkin aku juga akan berpikir yang sama. Tapi... entahlah. Aku merasa aku menyukainya begitu saja.

Selain mengobrol di dalam permainan itu, kami juga sering menelepon dan saling mengirim pesan singkat melalui ponsel. Kami sering tinggal sampai larut malam untuk sekadar mengobrol hal-hal ringan. Walaupun status hubungan dalam dunia nyata antara aku dengannya masih belum jelas, aku merasa bahwa kami sedang menjalani hubungan yang sama seperti yang karakter yang kami mainkan. Atau mungkin hanya perasaanku saja? Ya, mungkin. Karena kebahagiaanku itu bertahan kurang lebih hanya untuk empat bulan. Setelah itu ia mulai jarang membalas pesan singkatku, semakin sering mengabaikan panggilan teleponku, dan pernah seharian penuh aku tidak menerima kabarnya. Sedih? tentu saja.

Aku mengerti, memang dia harus mengurus dan mempersiapkan ujian akhir SMA yang akan dihadapinya saat itu, karena saat itu aku juga harus mempersiapkan ujian nasional SMP-ku. Namun semakin hari, aku merasa ikatan kami semakin merenggang. Aku merasa ia semakin menjauh, menjauh, dan menjauh. Sampai pada akhirnya aku sadar. Mungkin memang selama ini hanya aku yang merasakan betapa indahnya hari-hari yang kulalui bersamanya. Walau hanya sekadar sapaan manis dan manja, ia dulu membalas dengan ceria yang sama.
Saat hari natal tiba aku masih memberanikan diri untuk mengucapkan selamat merayakan hari natal untuknya dan memang pesanku dibalasnya. Namun aku dapat merasakannya. Pesan yang dikirim tidak secerah dan sehangat pesan yang dulu selalu dikirimkan setiap hari olehnya.
Semakin hanyut dalam kesedihan dan kekecewaan, aku pada akhirnya mundur. Kurasa memang tidak ada gunanya lagi memperjuangkan cintaku. Kurasa aku saja yang sangat bodoh selama ini, menganggap semuanya serius dan pada akhirnya aku hanya menyakiti diriku sendiri.

Sejak hari natal itu, ia tidak pernah mengirimi aku pesan, baik di Facebook maupun melalui SMS. Akupun tidak berani untuk mengiriminya pesan, apalagi meneleponnya. Tidak pernah aku menerima pemberitahuan Facebook bahwa ia telah online dan meninggalkan pesanku. Lagipula, virtual game tempat kami seharusnya memadu kasih juga sudah bangkrut dan hilang dari aplikasi Facebook. Seberkas harapanpun tak ada, ‘kan?
Suatu kali di pertengahan tahun 2013, aku sempat iseng mengirimi SMS ke nomor teleponnya. Dibalas, memang, tapi bukan olehnya. Dia bilang Rio memberikannya kartu SIM, telepon yang dulu dia pakai untuk berkomunikasi denganku, kepadanya. Dia juga bilang, bahwa Rio tidak meninggalkan pesan apapun dan dia pun tidak mempunyai nomor ponsel yang dia pakai saat ini. Dia juga bilang, bahwa Rio sekarang sudah berada di Medan, melanjutkan studinya ke Universitas Sumatera Utara. Soal itu, memang aku sudah diberi tahu olehnya. Namun aku tidak pernah menyangka kami akan kehilangan kontak sama sekali. Saat membaca pesan-pesan itu dadaku terasa sedikit sesak, tapi aku mengacuhkannya. Aku tahu air mata sebanyak apapun tidak akan mengembalikannya kepadaku lagi. Jadi, untuk apa aku menangisinya lagi?

Tapi aku tidak akan menyalahkan atau menyesali pertemuan kami yang sangat unik. Karena aku bersyukur bisa mengenal seseorang yang baik, yang mau repot-repot mengisi hari-hariku walaupun dalam waktu yang singkat. Karena aku menyukai setiap celotehan-celotehannya. Aku menyukai lelucon bodoh yang entah mengapa mampu membuatku tertawa. Aku menyukai panggilan sayang yang dia buat untukku, bagaimana ia dengan manisnya mencoba menyebutkan
namaku walaupun dengan susah payah karena dia cadel. Aku menyukai senyum manisnya walaupun hanya dapat aku pandang melalui layar komputer. Aku menyukai suaranya dan tawa renyahnya ketika aku bercanda dengannya di telepon. Aku menyukai bagaimana ia mengucapkan selamat malam untukku. Aku menyukai semua tentang dia. Aku sangat menyukai laki-laki itu.

Namun aku tidak suka melihat perempuan yang lemah. Aku tahu aku cengeng tapi aku akan berusaha untuk tegar dan tidak akan jatuh karena cinta bodoh ini. Aku akan tersenyum di depan teman-temanku secerah yang aku bisa, mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja dan aku sangat bersyukur pernah mengenalnya.

Seperti sekarang ini. Saat sahabatku bertanya apakah aku baik-baik saja saat ia bertanya begitu dengan santainya, aku hanya tertawa kecil. Aku meyakinkan sahabatku bahwa aku baik-baik saja dan semuanya normal sebelum aku mengeklik nama laki-laki itu dan mulai mengetik. Aku sempat membaca ulang kalimat kecil yang baru saja aku tulis sebelum menekan tombol enter di papan ketik—walau dengan seberkas kepedihan di hati.

“Aku baik-baik aja. Semoga kamu juga baik-baik juga ya disana! :)”

No comments:

Post a Comment

Twitter Recent Updates

My friends